Kamis, 25 Maret 2010

Pemuda Bali For Hero


Ngurah Rai, Desa Malaya, dan Margarana pacuan semangat pemuda bali

Bali adalah salah satu daerah yang menyimpan banyak rahasia tentang sejarah pada zaman pergerakan Indonesia. Perjuangan para pemuda Bali untuk mendapatkan suatu kebebasan dari para penjajah pun nampak di zaman itu. Semua bersatu padu untuk memperjuangkan apa yang ingin dicapainya yakni, kemerdekaan Indonesia yang sah.

Orang Bali menyadari bahwa mereka adalah bagian terkecil dari alam semesta ini.

Mereka cenderung pasrah pada hukum alam semesta. Inilah yang kemudian menjadi sumber utama etika dan budaya Bali. Sehingga muncul berbagai seni budaya seperti seni tari, gong, dan perundagian.

Sebenarnya sejarah yang terkuak dalam Pulau Bali telah ada mulai zaman prasejarah. Namun lebih jelasnya nampak pada zaman penjajahan terutama zaman pergerakan Indonesia. Hal ini karena di zaman ini nampak perjuangan para pemuda Bali untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.

Masa awal tersiksanya masyarakat Bali adalah akibat kedatangan para penjajah dari berbagai negara. Selain karena ingin menguasai Bali para penjajah juga ingin mengetahui secara detail kebudayaan Bali yang menurut para penjajah di masa yang akan datang akan menjadi asset yang penting dalam pembangunan suatu Negara. Oleh karena itu, Pulau Bali yang menyimpan banyak misteri kehidupan pun tak luput dari incaran para penjajah.

Banyak rahasia kehidupan di pulau Bali yang menarik untuk diketahui. Mulai dari kuatnya pengaruh agama Hindu hampir di seluruh lapisan masyarakat Bali, terbentuknya kasta yaitu kasta brahmana, ksatria, weisya, dan sudra akibat indianisasi di Indonesia, hingga kebudayaan yang muncul seperti seni tari, gong, seni pahat dan yang paling menarik hingga saat ini adalah upacara keagamaan seperti ngaben yang sangatlah sakral.

Para penjajah juga tertarik dengan hal tersebut. Oleh karenanya para penjajah mulai memasuki Bali dengan cara yang cukup meyakinkan. Masa pertama yang memunculkan adanya perlawanan dari pemuda Bali adalah masa perlawanan terhadap orang-orang Belanda yang datang ke Bali. Kemudian dilanjutkan dengan perlawanan terhadap orang-orang Jepang hingga mencapai kemerdekaan dan perjuangan para pemuda ini pun terus berlanjut di zaman paska kemerdekaan.

Ada banyak perlawanan yang terjadi saat itu. Perlawanan-perlawanan itu ditandai dengan meletusnya perang di berbagai daerah di Bali. Perang tersebut antara lain Perang Buleleng (1846), Perang Jagaraga (1848-1849), Perang Kusamba (1849), Perang Banjar (1868), Puputan Badung (1906), Puputan Klungkung (1908), hingga perang yang paling penting di zaman pergerakan Indonesia yakni puputan Margarana dan perjuangan pemuda di singaraja hingga kejadian di desa Malaya kabupaten Negara. Puputan margarana dan tempat bersejarah yang disebutkan tadi itulah yang nantinya menjadi fokus dalam paper ini dibelakang nanti.

Sejak kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda pemerintah Belanda mulai ikut campur dalam mengurus pemerintahan di Bali. Hal ini dilakukan dengan mengubah nama raja sebagai penguasa daerah dengan nama regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta menempatkan P.L. Van Bloemen Waanders sebagai pengawas yang pertama di Bali.

Struktur pemerintahan di Bali masih berakar pada struktur pemerintahan tradisional, yaitu tetap mengaktifkan kepemimpinan tradisional dalam melaksanakan pemerintahan di daerah-daerah. Di daerah Bali seorang raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, yang pada waktu pemerintahan kolonial didampingi oleh seorang pengawas. Pertanggungjawaban yang dilakukan raja langsung kepada residen Bali dan Lombok yang berkedudukan di Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan, raja-rajanya betanggung jawab kepada asisten residen yang berkedudukan di Denpasar.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi, pemerintah Belanda telah membuka sebuah sekolah rendah yang pertama di Bali, yakni di Singaraja (1875) yang dikenal dengan nama Tweede Klasse School. Pada tahun 1913 dibuka sebuah sekolah dengan nama Erste Inlandsche School kemudian sekolah ini berkembang menjadi sekolah negeri dan saat ini dikenal dengan nama SMP negeri 1 Singaraja. dan kemudian disusul dengan sebuah sekolah Belanda dengan nama Hollands Inlandsche School (HIS) yang muridnya kebanyakan berasal dari anak-anak bangsawan dan golongan kaya. Sekolah ini pun berkembang hingga saat menjadi sekolah menengah atas yang dikenal dengan nama SMA Negeri 1 Singaraja.

Akibat pengaruh pendidikan yang didapat, para pemuda di kota Singaraja berinisiatif untuk mendirikan perkumpulan dengan nama "Suita Gama Tirta" yang bertujuan untuk memajukan masyarakat Bali dalam dunia ilmu pengetahuan melalui ajaran agama. Sayang perkumpulan ini tidak burumur panjang. Kemudian beberapa guru mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama "Shanti" pada tahun 1923. Perkumpulan ini memiliki sebuah majalah yang bernama "Shanti Adnyana" yang kemudian berubah menjadi "Bali Adnyana".

Pada tahun 1925 di Singaraja juga didirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama "Suryakanta" dan memiliki sebuah majalah yang diberi nama Suryakanta. Seperti perkumpulan Shanti, Suryakanta menginginkan agar masyarakat Bali mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan menghapuskan adat istiadat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Pada zaman pendudukan Jepang, awalnya tidak ada perlawanan apa-apa. Sehingga dengan mudahnya Jepang menguasai Bali saat itu. Namun setelah beberapa lama terjadi perlawanan sehingga kebutuhan diprioritaskan pada kebutuhan perang. Saat ini juga para pemuda di Bali dididik menjadi Tentara Pembela Tanah Air. Untuk daerah Bali, PETA dibentuk pada bulan Januari tahun 1944 yang program dan syarat-syarat pendidikannya disesuaikan dengan PETA di Jawa.

Kemerdekaan Indonesia ternyata belum menyelesaikan semua masalah di Bali. Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti Ketut Puja tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Bali mulai disebarluaskan sampai ke desa-desa. Sehingga masyarakat pun tahu bahwa Indonesia telah merdeka. Menurut beberapa sumber yang menjadi saksi mata, para warga di masing-masing desa beramai-ramai turun ke jalan untuk merayakan kemenangan ini. Pada saat itulah mulai diadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan ibukota Singaraja.

Singaraja adalah salah satu kota di ujung utara pulau Bali. Areanya yang paling luas di Bali mengakibatkan kota ini dijadikan ibukota Sunda Kecil. Singaraja banyak menyimpan sejarah. Bhuana kerta, adalah salah satu bagian dari sejarah yang dimiliki oleh Singaraja. Setelah membaahas perjuangan orang Bali di zaman itu secara umum barulah akan dibahas kebelakangnya puputan Margarana yang begitu bermakna bagi masyarakat Bali serta kota Singaraja yang memiliki beragam sejarah ditambah pula dengan keberadaan desa Malaya sebagai cermin pemuda Bali yang berbeda pada zaman itu.

Kedudukan daerah luar jawa selain Madura dan Sumatra sangatlah sulit setelah perjanjian Linggajati. Saat itu kekuasaan de facto RI yang diakui hanyalah Jawa, Madura dan Kalimantan. Pada tanggal 2-3 Maret 1946 pasukan tentara Belanda yang berjumlah kurang lebih dua ribu orang mendarat di Bali bersamaan dengan tokoh Bali yang pro Belanda. Saat itu I Gusti Ngurah Rai yang ditugaskan mengepalai markas besar TKR di Bali sedang mengadakan konsultasi ke Yogyakarta.

Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai lahir di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, 30 Januari 1917 adalah seorang pahlawan Indonesia dari Kabupaten Badung, Bali. I Gusti Ngurah Rai tamat sekolah menengah (MULO) di Malang. Beliau kemudian melanjutkansekolah militer di Gianyar di pendidikan militer Corps Oplayding Voor Recet Officeerent ( pendidikan perwira cadangan di Magelang). Setelah lulus beliau diangkat menjadi perwira di Corps Prayuda Bali dengan pangkat letnan dua. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus 1945, I Gusti ngurah Rai mendapat tugas untuk membangun TKR di daerah Sunda Kecil. Tujuan dibentuknya TKR ini adalah untuk membentengi serangan Belanda.

Saat beliau mendapatkan tugas ini beliau mendapat wejangan untuk mengadakan konsultasi ke Yogyakarta. Namun sepulang dari Yogyakarta, keadaaan semakin keruh. Pasukan Belanda mendarat di Bali dan berusaha menguasai Pasukan Bali. Akibatnya pasukan Bali tercerai berai tanpa ada yang mengkoordinasikan gerakan-gerkan perlawanannya. Sehingga pasukan ini pun menjadi pasukan-pasukan kecil yang terpisah dan berjuang sendiri. Kondisi saat itu membuat I Gusti Ngurah Rai bingung. Namun kemudian beliau berusaha keras untuk menyatukan kembali pasukannya.

Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI mengunakan sistem gerilya. Oleh karena itu, induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di Bali, didatangkan bantuan dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke dalam pasukan yang ada di Bali. Pasukan Belanda pun mendatangkan bantuan dari Lombok. Pertempuran sering terjadi sehingga pihak Belanda pernah mengirim surat kepada I Gusti Ngurah Rai untuk mengadakan perundingan. Beberapa bulan kemudian Belanda membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk mengadakan perundingan di Bali seperti yang tertera dalam surat Kapten J.I.M. Kunie. Saat itu dengan lugas Ngurah Rai menjawab perundingan diserahkan kepada pemimpin diatas. Beliau menganggap bahwa Bali bukanlah tempat untuk melakukan perundingan tersebut. Beliau menganggap dirinya hanyalah rakyat biasa yang hanya akan melakukan perlawanan bukan perundingan. Ngurah Rai merasa lebih baik melakukan perang daripada harus melakukan perundingan. Pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat terutama para pemuda Bali.

Untuk memudahkan kontak dengan Jawa, I Gusti Ngurah Rai pernah mengambil siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali. Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini terkenal dengan sebutan Long March. Selama diadakan Long March itu pasukan gerilya sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat menuju banjar ole yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan). Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat. Perpindahan ini diketahui oleh pasukan Belanda. Mereka pun mengadakan serangan besar-besaran di desa marga. Namun saat itu pasukan I GUsti Ngurah Rai yakni pasukan Ciung Wenara berhasil menghalaunya.

Pasukan Belanda tidak kehabisan akal. Pasukan belanda ternyata mendapatkan bantuan pesawat tempur dan senjata sehingga kedudukan pun menjadi semakin tak seimbang. Peralatan tempur Belanda menyulitkan I Gusti Ngurah rai untuk melakukan perlawanan.

Pasukan I Gusti Ngurah Rai kemudian terjebak dalam medan terbuka yang dibalakangnya terdapat jurang yang sangat dalam. Dalam kondisi seperti inilah beliau mengeluarkan perintah untuk melakukan puputan. Disini para pemuda Bali berkumpul dan membantu perjuangan dari pasukan I Gusti Ngurah Rai.

Pada waktu berada di desa marga Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa senjata dan pelurunya dapat direbut. I Gusti Ngurah Rai pun berhasil membujuk seorang komandan polisi NICA untuk ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada tanggal 20 November 1946 dini hari, pasukan Belanda mulai mengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan NICA dengan pasukan I Gusti Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda kurang lebih 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.

I Gusti Ngurah Rai melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam bahasa bali, berarti "habis-habisan", sedangkan Margarana berarti "Pertempuran di Marga"; Marga adalah sebuah desa ibukota salah satu kecamatan Kabupaten Tabanan, Bali).

Di kota lain yang tidak kalah bersejarahnya adalah kota Singaraja. Sebuah kota kecil yang memliki areal yang sangat luas di Bali. Pada zaman penjajahan Singaraja telah menjadi ibukota Sunda Kecil. Secara otomatis Singaraja menjadi pusat segala kegiatan sunda Kecil. Pelabuhan Singaraja menjadi ramai. Pelabuhan Singaraja yang letaknya di ujung utara Pulau Bali memiliki nilai sejarah yang menjadi panutan bagi pemuda Bali. Di pelabuhan inilah terjadi pertempuran sengit antara rakyat Bali dengan para penjajah. Hingga akhirnya di Pelabuhan ini didirikan sebuah patung cerminan semangat pemuda Bali yang mengepalkan tangan sambil memegang bendera bangsa. Itulah cerminan para rakyat yang pada zaman penjajahan tak gentar untuk menghalau pasukan penjajah yang ingin masuk ke Bali dari bagian utara.

Jejak-jejak pemuda Bali pun mulai nampak seiring dengan perkembangan waktu. Para pemuda Bali bersama-sama membangun bangsa Indonesia saat ini. Namun kekerasan yang dulu terjadi pada pemuda zaman pergerakan Indonesia masih menyisakan tangis, penyesalan dan ingatan yang tk mungkin terlupakan.

Bekas kekerasaan itu muncul dari penuturan korban dan saksi sejarahnya sendiri. Pembantaian anak manusia pada tahun 1965an tinggallah cerita kelam yang hanya menyisakan penyesalan. Perlu diketahui bahwa pada zaman PKI 1965 manusia Bali harus bergejolak dengan saudaranya sendiri. Tak jarang ada yang saling tebas. Itu menandakan pemuda pada zaman pergerakan tak hanya ingin membela negaranya namun meereka juga ingin menguasai negaranya hingga perang saudara pun terjadi.

Di Bali tepatnya di Jembrana ada sebuah daerah yang disebut sebagai daerah “Lubang Buaya Bali”. Ini bukanlah monument megah tujuh pahlawan revolusi yang ada di Jakarta. Ini adalah “lubang buaya” yang ada di desa Melaya, Kabupaten Jembrana daerah paling barat Pulau Bali. Tidak ada monumen disana. Situasi ini sangat berbeda dengan kondisi di desa Marga Tabanan. Daerah itu hanya dikelilingi pohon bambu dan tanaman liar mengelilingi pelinggih1.

Siapa yang akan menyangka bahwa dalam tanah yang terinjak-injak dengan leluasa itu terdapat sekitar lima puluh mayat korban perlawanan para penjajah dan komunis. Dan menurut para sumber para mayat tersebut adalah korban tuduhan anggota komunis. Pembantaian massal saat itu dilakukan di Jembrana. Awalnya terdapat satu sumur yang akan digunakan untuk menyembunyikan mayat-mayatnya, namun karena jumlahnya yang banyak maka sumur warga di desa Malaya pun turut digunakan. Selebihnya dibuang ke Pantai Candi Kusuma.

Kejadian yang tragis tadi merupakan salah satu cerminan pemuda Bali saat itu. Perjuangan para pemuda Indonesia khususnya Bali saat itu memang patut dihargai. Mereka berjuang demi kebebasan Indonesia dan untuk mencapai kemerdekaan. Namun patut dicermati pula keadaan pemuda Bali saat zaman komunis mulai merajalela. Mereka seakan membabi buta untuk membunuh satu sama lain. Pemuda zaman itu seakan tak ingin mencari tahu kebenaran dari perbuatan yang mereka lakukan terlebih dahulu.

Hal itu dapat dilihat dari kejadian di desa Malaya. Para pemuda yang kemungkinan bukan anggota komunis harus meninggal sia-sia karena perbuat saudaranya sebangsa dan setanah airnya sendiri. Para pemuda yang melakukan hal yang kejam itu pun tak menyadari dan seakan tak mau tahu keadaan teman seperjuangannya. Mereka dengan cepatnya memutuskan untuk menghabisi nyawa temannya sendiri. Kejadian ini sungguh tragis. Ditambah lagi dengan tidak adanya monumen di tempat mereka dikuburkan. Pentingkah monumen bila kejadiannya seperti itu? Tidak ada yang bisa menjawabnya.

Keadaan pemuda Bali di era globalisasi sekarang ini sangatlah berbeda dengan dinamika pemuda bali di zaman penjajahan. Manusia Bali adalah makhluk yang bersopan santun, ramah tamah dan bersahabat. Namun saat terjadi Bom Kuta banyak yang mempertanyakan mengapa ini semua harus terjadi. Saat bali mengalami keterpurukan para pemuda bersatu padu untuk membangun kembali Bali. Namun ada beberapa pemuda yang malah mempermasalahkan pelaku bom tersebut. Mereka seakan-akan ingin menghakimi para pelaku dengan tangan mereka sendiri tanpa mau percaya dengan kinerja aparat keamanan.

Hal ini sebenarnya tak perlu terjadi bila pemuda Bali tersebut sadar bahwa ada kegiatan yang lebih penting dilakukan untuk membangun Bali sehingga dapat memajukan bangsa. Kegiatan-kegiatan berbau seni dapat dilakukan saat itu karena selain dapat memjukan Bali juga dapat melestarikan kebudayaan Bali itu sendiri.

Para pemuda Bali di zaman sekarang perkembangannya mengalami beberapa persoalan baik dari dalam diri sendiri maupun dengan adaptasinya dengan lingkungan sekitar. Pemuda sekarang cenderung melakukan hal-hal yang berdampak negative bagi dirinya meskipun awalnya sangat manis untuk dilakukan.

Terjerumus dalam pergaulan bebas, narkoba, pembunuhan, hingga pengeboman terjadi pada diri pemuda Indonesia saat ini. Inilah cerminan aura pemuda Indonesia di era globalisasi. Mereka ingin menunjukkan bahwa dirinyalah yang paling berkuasa. Namun mereka sama sekali tidak menyadari dampak dari kelakuan mereka tersebut.

Beberapa tahun yang lalu jagat Bali dikejutkan oleh perang saudara di salah satu puri di denpasar. Mereka memperebutkan warisan dari leluhur mereka. Inikah cerminan pemuda-pemudi Bali saat ini? Meskipun tak jarang pemuda Bali yang melakukan kegiatan berdampak positif. Salah satu kegiatan yang patut dijadikan panutan untuk generasi pemuda Bali selanjutnya adalah saat pemuda seluruh Bali melakukan kegiatan sosial untuk pembangunan Bali paska pengeboman.

Makna dari sumpah pemuda pun merasuk dalam tubuh para pemuda. Mereka bersatu padu memperjuangkan kesejahteraan bangsa ini. Nampak jelas aura pemuda zaman penjajahan saat ini masih merasuk dalam tubuh generasi muda. Inilah yang diperlukan oleh pemuda saat ini. Makna sumpah pemuda yang berupaya untuk selalu mendahulukan kepentingan bangsanya, mempunyai rasa cinta tanah air dan bersatu padu untuk terus membangun bangsa Indonesia.

Tanpa disadari tokoh I Gusti Ngurah Rai pun menjadi panutan bagi para pemuda khususnya pemuda Bali. Perjuangannya membela bangsa menjadi karakter tersendiri bagi para pemuda Bali. I Gusti Ngurah Rai bukanlah satu-satunya tokoh yang menjadi cerminan bali namun beliaulah tokoh yang perjuangannya menjadi panutan bagi generasi setelahnya. I Gusti Ngurah Rai membangkitkan semangat para pemuda Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ThaNk`s......